ucuffucu

ucuffucu
Supriyadi

Rabu, 20 Juli 2011

EKSISTENSI PARTAI DAKWAH DALAM KONSTELASI POLITIK DI INDONESIA



EKSISTENSI PARTAI DAKWAH DALAM KONSTELASI POLITIK DI INDONESIA
Partai Dakwah
Perlu diakui bahwa terma “Partai Dakwah” belum dikenal dalam khazanah keilmuan dakwah dan khazanah perpolitikan umat Islam di Indonesia sepanjang sejarah. Terma yang merupakan paradigma baru dan sekaligus inovasi yang dimunculkan oleh PK (Partai Keadilan) pada tahun 1998, yang kemudian dilanjutkan oleh PKS (Partai Keadilan Sejahtera) pada tahun 2004 itu, menimbulkan banyak pertanyaan dan kebingungan di berbagai kalangan.
Jika dilihat, sejatinya atribut partai dakwah dan dakwah lewat partai pada PKS secara eksplisit tertuang dalam muqadimah Anggaran Dasar (AD) partai ini: “Bertolak dari kesadaran tersebut, maka dibentuklah Partai Keadilan, yakni partai politik yang mengemban amanah dakwah demi mewujudkan cita-cita universal dan menyalurkan aspirasi politik kaum muslimin beserta seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Seiring berkembangnya dinamika aspirasi masyarakat dan untuk menjamin kelangsungan dakwah, maka Partai Keadilan menjelmakan diri menjadi Partai Keadilan Sejahtera". (Muqaddimah AD PKS, Alinia 4-5)
Atribut partai dakwah juga secara implisit dicantumkan dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) PKS Bab II Pasal 3 sebagai berikut:
1. Menyampaikan dakwah dan tarbiyah Islamiyah kepada masyarakat, khususnya umat Islam, secara benar, jelas, utuh, dan menyeluruh”
2. Mendorong kebajikan di berbagai bidang kehidupan”


3. Memberantas kebodohan, kemiskian, dan kerusakan moral”
4. Menghimpun jiwa dan menyatukan hati manusia di bawah naungan prinsip-prinsip kebenaran”
5. Mendekatkan berbagai persepsi antara madzhab-madzhab di kalangan umat Islam”
6. Memberi alternatif solusi terhadap berbagai persoalan umat dan bangsa serta pembangunannya
7. Membangun peradaban manusia atas dasar keseimbangan iman dan materi
8. Meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat
9. Merealisasikan keadilan dan solidaritas sosial serta ketenteraman bagi masyarakat
10.  Mengembangkan dan melindungi kekayaan bangsa dan negara
11.  Memajukan perlindungan hak-hak asasi manusia
Pemahaman seperti ini juga tercermin dalam tulisan para tokohnya, sebagaimana tertuang dalam tulisan Ust. Anis Matta dalam bukunya ”Dari Qiyadah untuk Para Kader” sebagai berikut:
”Partai ini adalah wujud daripada gerakan dakwah kita. Partai adalah representasi keseluruhan dari total kekuatan yang kita miliki sepanjang 18 tahun pertama kita membina umat.” (Anis MattA, Dari Qiyadah untuk Para Kader, Hal. 17, Alinea 1).
Lebih jelasnya, Ust. Aus Hidayat Nur, dalam materi yang disampaikannya pada Training oreintasi Partai menyebutkan beberapa ciri khas sebuah partai dakwah (PKS) sebagai berikut:
1. Menjadikan politik sebagai sarana dakwah dan bukan menjadikan dakwah sebagai sarana politik
2. Kemenangan dakwah lebih utama dari kemenangan politik
3. Tidak berorientasi kepada kepentingan individu para pendirinya, tetapi pada pengokohan sistem organisasi partainya
4. Tujuan kemenangan politik adalah untuk melindungi kegiatan dakwah, mengokohkan posisi umat, menegakkan keadilan, dan menyejahterakan rakyat (Aus Hidayat Nur, PKS Partai Dakwah, Materi TOP) 
Dari sini dapat dipahami, bahwa partai dakwah sebagaimana dimaksud para pendiri PKS adalah sebuah lembaga yang menjadikan partai sebagai sarana atau ’kendaraan’ menyampaikan dakwah dalam segala bentuk dan aspeknya; sehingga dapat dipahami pula bahwa ”dakwah” bagi PKS adalah ’panglima’ bagi perjuangan menyebarkan nilai dan prinsip kebenaran dan keadilan bagi seluruh umat di Indonesia khususnya.
Pertanyaannya adalah sejauh mana partai baru dengan tawaran dan performanya yang baru di dunia politik dan dakwah tersebut, mampu mempertahankan eksistensinya ditengah percaturan politik dan dinamika pergerakan dakwah di Indonesia? Inilah yang penulis coba ulas dalam tulisan sederhana ini, dengan selalu mengharapan taufiq dari Allah SWT..
 Buah dari Dakwah melewati Partai Politik
Sebagai sebuah gerakan dakwah yang menjelma menjadi partai politik, dan partai politik yang membawa muatan dakwah, sejak awal dideklarasikan tentu telah membawa beberapa tantangan. Sebab utamanya adalah bahwa formulasi partai dakwah dan dakwah lewat partai telah mengumpulkan dua hal -yang oleh mayoritas umat- dianggap paradoks. Partai –dalam pandangan mereka- selalu berorientasi kepada perebutan kekuasaan, keduniawian, dan konflik, sehingg dunia politik selalu diasumsikan sebagai dunia kotor. Sementara dakwah adalah aktivitas yang berorientasi kepada perbaikan, kemaslahatan, dan keakheratan.
Sebagai partai politik, partai dakwah pun harus memenuhi setandar-standar baku yang terukur dan formal (seperti harus berkampanye, melakukan koalisi-koalisi politik, dll).Suatu  hal yang cukup sulit dipahami oleh mereka yang hanya terbiasa terjun di dunia dakwah. Di samping itu, lahan dan garapan partai politik sangat terbatas, sementara garapan dakwah tidak pernah terbatas. Luas garapan dakwah adalah seluas langit dan bumi, waktunya pun terbentang dari awal mula diciptakannya manusia hingga akhir dari kehidupan manusia di bumi ini.
Semuanya dan masih banyak hal-hal lain yang belum disebutkan, merupakan dua kutub yang berseberangan, dan tidak mudah ditundukkah. Proyek besar ini membutuhkan ide-ide besar dan hasil ijtihad yang cemerlang, kemauan besar, serta usaha dan kerja besar yang didukung oleh tingkat militansi yang cukup tinggi. Jika tidak, maka bukan saja nama-nama kader yang dipertaruhkan, nama dakwah dan Islam itu sendiri bisa turut ter-gerus akibat kegagalan proyek raksasa ini. Dan itulah yang ingin dicoba oleh PKS saat menjelmakan diri menjadi partai dakwah. Dengan sendirinya, wajar jika banyak khalayak sedang menanti-nanti buah dan hasil nyata dari kerja besar ini, dengan penuh harap dan cemas.
Memang pengalaman yang masih relatif singkat, yaitu 10 tahun sejak berdirinya PK (1998) hingga kini (2008), belum cukup untuk menilai dengan pasti apakah percobaan ini gagal atau sukses. Percobaan ini masih terlalu dini untuk dinilai sukses atau gagal. Namun demikian, hasil kerja 10 tahun itu sudah bisa dijadikan modal utama untuk digali dan dianalisa, agar diketahui faktor-faktor kekuatan dan kelemahan, sehingga aset bangsa ini bisa disempurnakan dan dikembangkan di masa yang akan datang.
Sejatinya, akar dari Partai Dakwah ini kembali kepada gerakan dakwah kampus yang mulai marak sejak tahun 80-an. 18 tahun pertama dari gerakan dakwah ini –menurut ust. Anis di atas- merupakan marhalah ta'sîsiyyah (masa pembentukan), dimana kegiatan dakwah ini terfokus pada pembinaan kader dan pembentukan berbagai yayasan, baik dalam dunia pendidikan, agama, maupun sosial kemasyarakatan. Salah satu hasil karya fenomenal dari gerakan dakwah pada periode ini adalah munculnya anak muda agamis yang profesional, munculnya ratusan Pendidikan Islam Terpadu, muncunya para penulis muda muslim yang kreatif dan produktif, munculnya seni islami, dan beberapa fenomena lainnya yang cukup mengejutkan.
Walaupun perolehan suara PK pada pemilu 1999 hanya 1,3 juta suara, tapi sebagai partai baru, perolehan ini sudah dianggap oleh banyak kalangan sebagai hasil yang sepektakuler. Lebih mencengangkan lagi tatkala PKS mampu meraup lebih dari 8 juta suara pada pemilu 2004, sehingga dari hasil ini seorang pengamat A. Muhammak Furkon, mengatakan: "Sebagai partai anak muda yang relatif baru, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seolah "‌menyihir" publik. Fenomenanya diperbincangkan di mana-mana".
Furkon juga mengutip pendapat seorang pengamat politik yang mengatakan: "PKS adalah partai Islam pertama di Indonesia -setidaknya pasca Orde Baru- yang solid dan rapi.
Ia juga mengetengahkan hasil survey terakhir Lembaga Survey Indonesia (LSI) tahun 2005, yang menobatkan PKS sebagai partai yang bersih dan anti KKN.
Puja-puji masyarakat -bahkan kalangan non Muslim— menurut Furkon juga deras mengalir. Greg Fealy, pengamat Islam dan Indonesia dari Australian National University (ANU), termasuk yang memuji. Dalam artikelnya di koran The Australian (29 Maret 2005) berjudul "‌Why West should come to Islamist party"‌, Greg mengatakan bahwa dengan melihat contoh PKS di Indonesia, Barat/Australia harus menanggalkan pandangan stereotype tentang Islam dan partai berbasis Islam.
Dengan prestasi tersebut, -menurut Furkon- sungguh PKS adalah aset umat Islam yang sangat membanggakan. Sehingga –masih menurutnya- nyaris semua elemen dari berbagai ormas Islam mendukung PKS. Selain sebagai kebanggaan umat, ia sekaligus aset. Termasuk ketika Pemilu 2004. (A. Muhammad Furkon, Tausiah untuk PKS, Suara Hidayatullah, Agustus 2007).
Lalu bagaimana nasib Partai Dakwah ini pada pemilu 2009 yang akan datang? Akankah ia mampu mempertahankan bahkan mendongkrak suaranya hingga 20% -sebagaimana yang telah dicanangkan oleh Amanat Munas?
 Peluang, Tantangan dan Masa Depan
Dari hasil kajian LPP (Lajnah Pemenangan Pemilu) PKS, terungkap adanya beberapa kendala mendasar yang akan dihadapi oleh Partai Dakwah ini dalam mewujudkan cita-cita spektakulernya (20% suara) atau sejumlah 24 juta suara. Diantaranya adalah sbb.:
1. Walaupun secara manhaji dakwah PKS bersifat terbuka, tapi konstitusi, struktur, an mental para pengurus dan kader belum cukup siap membuka diri secara luas kepada pihak luar, dan karenanya menjadi entry barrier pertumbuhan PKS.
2. PKS belum memiliki territorial base yang luas dan kokoh dengan pemilih tradisional yang setia, dan karenanya rentan mengalami peralihan suara, sementara konstituen PKS umumnya berasal dari swing voters.
3. Dalam konteks peran partai politik sebagai source of national leadership, PKS masih dianggap miskin tokoh, baik di level daerah, nasional, maupun internasional. Ini merupakan faktor ketidakseimbangan terhadap institusi PKS yang dianggap kokoh dan moderen.
4. Semangat kerja dan militansi kader PKS belum diimbangi dengan dukungan finansial yang kuat, dan karenanya menjadi faktor penghambat dinamika organisasi.
5. Niat baik dan kinerja organisasi yang handal, khususnya dalam bidang pengkaderan dan kerja-kerja charity dari PKS, belum diimbangi dengan kemampuan komunikasi publik yang handal.
6. Komposisi demografi dan geografi Indonesia yang sangat luas dan kompleks merupakan kendala besar dalam penyebaran struktur dan SDM PKS, terutama karena efek waktu dan anggarannya.
7. Diferensiasi antropologis antara Kaum Santri dan Abangan, serta warisan konflik ideologi antara Islam dan nasionalis menyebabkan PKS dengan mudah terjebak dalam demarkasi Islam-Santri. Hal ini menyempitkan ruang gerak dan basis sosial politik (konstituen/pasar) PKS.
8. Doktrin TNI yang menempatkan PKS sebagai salah satu ancaman politik dan keamanan, karena dianggap sebagai perpanjangan tangan NII yang merupakan satu dari dua ancaman nasional disamping PKI.
9. Semangat permusuhan Barat terhadap Islam telah menguat, khususnya setelah berakhirnya era Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet, sehingga pertumbuhan partai-partai Islam di Dunia Islam, termasuk PKS di Indonesia, selalu dipandang dalam kaca mata konspirasi, dan karenanya dianggap sebagai ancaman.
10. Adanya erosi yang berkesinambungan pada otoritas dan kapasitas organisasi negara, akibat menguatnya intervensi pasar, baik domestik maupun global, serta menguatnya posisi tawar masyarakat sipil. Kondisi seperti ini dapat mengurangi posisi tawar PKS jika tidak memiliki jaringan yang kuat di kalangan pelaku pasar dan informal leader masyarakat sipil.
11. Derasnya perubahan budaya dan life style masyarakat, akibat penetrasi budaya hedonisme global yang menyebabkan sulitnya melakukan penetrasi sosial bagi PKS yang membawa nilai-nilai Islam.
Namun demikian beberapa kendala di atas bukan tidak memiliki jawaban. Menurut LPP, PKS masih memiliki peluang yang cukup bagus, diantaranya:
1. Kontinyuitas proses tarbiyah yang dapat menjadi mesin pencetak kader yang memiliki militansi dan daya juang yang cukup tinggi
2. Mengangkat isu-isu ekonomi, seperti pengangguran, kemiskinan, dan rendahnya produktivitas ekonomi sektor pertanian dan lingkungan hidup.
3. Standing position PKS sebagai mitra kritis pemerintah dapat menjadi exit strategy jika citra pemerintahan SBY-JK semakin terpuruk dan tidak dapat ditolong.
4. PKS berpeluang besar menjadi market leader di tengah konstituen umat Islam, seiring merosotnya citra partai-partai Islam lainnya.
5. Keterbukaan dan moderasi PKS sebagai partai politik merupakan booster suara bagi PKS di tengah masyarakat yang semakin marah terhadap semua bentuk ekstrimitas, baik yang mengatasnamakan Islam maupun nasionalisme.
6. PKS akrab dengan prestasi bersih dan peduli. Walaupun citra ini menurut beberapa survey mengalami penurunan, namun survey LSI masih menempatkan PKS pada posisi teratas bila dibandingkan dengan partai-partai lainnya. Sehingga PKS dengan segala kekurangannya masih menjadi tumpuan harapan bagi kalangan yang menginginkan perubahan di Indonesia.   
Kembali ke pertanyaannya, apakah Partai Dakwah ini mampu memanfaatkan peluang-peluang emas diatas, sehingga mampu mengemban tugas besarnya pada tahun 2009 mendatang? Jika banyak kalangan mengatakan bahwa hanya keajaiban yang mampu mengantarkan PKS mewujudkan cita-cita ini, namun para qiyadah dan kader Partai Dakwah ini telah berikrar: "Kami bertekad untuk menciptakan keajaiban-keajaiban itu". Semuanya akan dijawab dengan jujur oleh tahun 2009, yang sekaligus akan menjadi bukti sejarah bagi ketulusan tekad dan kemurnian i'tikat para pelaku sejarah yang ada di dalamnya. Semoga Allah senantiasa memberi taufiq dan 'inayah-Nya kepada para pejuang kebenaran dan penebar kebajikan.








PENUTUP
Islam dan politik tidak pernah dipisahkan dalam perbincangan peta politik nasional di Indonesia. Umat Islam sebagai mayoritas turut andil dalam sejarah pembentukan republik ini. Kekuatan politik Islam sudah hadir sejak republik ini berdiri. Partai-partai politik Islam mewarnai peta perpolitikan nasional sejak era kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, Era Reformasi, dan pasca reformasi.
            Partai Islam adalah partai yang berusaha mengaktualisasikan Islam lewat kekuasaan atau kelembagaan politik resmi. Menurut Azyumardi Azra, partai Islam adalah kekuatan Islam yang muncul atau ditampilkan sebagai kerangka atau basis ideologi politik. Kekuatan politik Islam ini, menurut Azyumardi Azra, biasanya menjelma dalam bentuk partai politik. Abdul Munir Mulkhan memakai istilah “politik santri” untuk menyebut aktivitas politik yang dilakukan oleh komunitas yang selama ini dikenal lebih taat terhadap berbagai aturan dalam sistem ajaran Islam, tetapi tidak mengusung visi Islam secara legal-formal. Pasca reformasi (1998), partai-partai politik Islam selalu kalah dalam proses pemilu di Indonesia. Ini bisa dilihat dari perolehan suara pada pemilu kali ini dan dua pemilu sebelumnya. Pada pemilu 1999, Partai Kebangkitan bangsa (PKB) meraih suara 12,46 persen (51 kursi), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meraih suara 10,72 persen (59 kursi), Partai Amanat Nasional (PAN) meraih suara 7,12 persen (35 kursi), Partai Bulan Bintang (PBB) meraih suara 1,94 persen (13 kursi), Partai Keadilan (PK) meraih suara 1,36 persen (6 kursi), dan Partai Nahdlatul Umat (PNU) meraih suara 0,64 persen (3 kursi). Sekalipun PAN dan PKB tidak menggunakan asas Islam, tetapi dua partai ini didirikan oleh para elite kaum santri yang memiliki wawasan kebangsaan (nasionalisme). Dengan demikian, PAN dan PKB tetap dikategorikan sebagai partai Islam karena memiliki basis massa umat Islam. Adapun PPP, PBB, PK, dan PNU merupakan partai-partai politik yang mengusung asas Islam secara formal. Tetapi partai-partai yang berasas Islam atau yang memiliki basis massa umat Isilam kalah dengan partai-partai berhaluan nasionalis. Pada pemilu 1999, yang keluar sebagai pemenang adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan perolehan suara 33,76 persen (154 kursi). Adapun Partai Golkar berada di urutan kedua dengan perolehan suara 22,46 persen (120 kursi).
            Pada pemilu 2004, partai-partai politik berasas Islam atau yang memiliki basis massa umat Islam tidak mampu merebut dominasi partai-partai nasionalis. Jika pada pemilu 1999, PKB berhasil suara 12,46 persen, pada pemilu 2004, justru perolehan partai berbasis kaum santri ini turun menjadi 10,57 persen. Pada pemilu sebelumnya, PPP meraih suara 10,72, tetapi pada pemilu 2004 hanya meraih suara 8,15 persen. Begitu juga dengan PAN, pada pemilu 2004 hanya meraih suara 6,44 persen. PBB meraih suara 2,62 persen. Sedangkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengalami peningkatan meraih suara 7,34 persen. Adapun Partai Bintang Reformasi (PBR) sebagai kompetitor baru meraih suara 2,44 persen. Pada pemilu kali ini (2009), nasib partai-partai Islam juga tidak jauh beda dengan pemilu sebelumnya. Menurut keterangan Ridwan Saidi, terdapat perbedaan yang cukup bermasalah antara hasil Quick Count IT dengan hasil rekapitulasi nasional di KPU. Berdasarkan rekapitulasi nasional KPU sampai hari Kamis, 30 April 2009 pukul 12:48 WIB dengan suara yang masuk 31.629.685 suara, PDIP unggul dengan perolehan suara 19.49 persen disusul Partai Demokrat dengan perolehan suara 17,09 persen. Partai Golkar berada diurutan ketiga dengan perolehan suara 14,15 persen. Partai-partai yang menduduki posisi tiga besar ini merupakan partai-partai berhaluan nasionalis. Adapun partai-partai yang merepresentasikan politik Islam tidak mampu menembus tiga besar perolehan suara pada pemilu kali ini. Perolehan suara partai-partai Islam pada pemilu kali ini turun secara drastis. PKB hanya 5,25 persen. PAN meraih suara 7,33 persen dan PPP hanya meraih suara 5,51 persen. Adapun PKS meraih suara yang cukup signifikan kali ini, yakni 6,74 persen. PBB dan PBR tidak masuk dalam sepuluh besar. Jika membandingkan dua pemilu sebelumnya dengan pemilu 1955, maka terdapat penurunan yang cukup signifikan terhadap perolehan suara partai-partai Islam. Pada pemilu 1955, partai-partai Islam berhasil memeroleh hampir 50 persen kursi. Tetapi, pada dua pemilu terakhir ini, perolehan kursi partai-partai politik Islam kurang dari 20 persen. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia adalah kaum Muslimin. Inilah keunikan politik Islam di Indonesia. Menurut Luthfi Assyaukanie, Deputi Direktur Freedom Institute, umat Islam di Indonesia tidak antusias bila Islam dijadikan sebagai komoditas politik. Fenomena politik Islam di Indonesia berbeda jauh dengan politik Islam di Turki, Yordania, dan Aljazair. Di ketiga negara ini, politik Islam berjaya ketika pemilu bergulir. Tetapi fenomena semacam ini tidak berlaku di Indonesia.             Kekalahan partai-partai politik Islam di pemilu kali ini sudah diprediksikan oleh beberapa pengamat politik di tanah air. Perolehan suara partai yang berbasis Islam di DPRD Jawa Tengah, misalnya, telah diprediksi turun drastis. Mochamad Yulianto, M.Si, analis politik Universitas Diponegoro, menyatakan bahwa perolehan suara PPP, PKB, dan PAN akan menurun dibanding Pemilu 2004. Tetapi Yulianto memberikan pengecualian kepada PKS. Menanggapi penurunan suara partai-partai Islam pada pemilu kali ini, Yulianto berpendapat, konflik internal sangat berpengaruh. Ia menyebutkan, di PKB, misalnya, pecahnya kubu Gus Dur dan Muhaimin Iskandar sangat berpengaruh pada perolehan suara kali ini. Adapun PAN yang sejak awal dicitrakan sebagai partai reformis tetapi rakyat menilai tak jauh beda dengan partai-partai lain. Sedangkan PPP tidak bisa menampilkan figur-figur yang progresif. Bahkan, Yulianto menilai PPP terlalu tradisionalis dan dipimpin oleh kelompok tua. Dalam pengamatan Abu Rokhmad, dosen IAIN Walisongo Semarang, ideologi politik partai Islam dan partai berbasis massa Islam tidak pernah dibangun secara jelas dan konsisten. Ia memberi contoh, ada parpol berasaskan Islam, tetapi perilaku partai dan politisinya sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Begitu pula, ada parpol yang nyata-nyata basis massanya umat Islam tetapi ragu-justru ragu menunjukkan ideologi ke-Islamannya. “Saya menyimpulkan bahwa parpol Islam dan berbasis massa Islam tidak pernah serius membangun ideologi partai. Asas Islam dan asas kebangsaan yang dianut parpol tersebut hanya dijadikan sebagai komoditas politik dan kedok untuk mengelabui konstituen. Padahal, ideologi merupakan ruh parpol dalam seluruh pemikiran dan gerak politiknya. Ideologi inilah yang diyakini dan dipedomani oleh parpol dan politisi yang akan diimplementasikan dalam pikiran dan tindakan,” jelas Abu Rokhmad. Abu Rokhmad memang tidak menyebutkan secara eksplisit partai-partai politik Islam yang dinilai tidak konsisten tersebut. Tetapi, rakyat Indonesia lebih tahu siapa politisi-politisi Muslim berasal dari partai politik berasaskan Islam yang berperilaku jauh dari nilai-nilai Islam. Rakyat Indonesia juga cukup cerdas mengenali partai-partai yang berbasis umat Islam, tetapi justru ragu menunjukkan ideologi ke-Islamannya. Dari sekian banyak partai politik Islam, yang berhasil menembus posisi empat besar hanya PKS. Rekapitulasi nasional KPU terhitung sampai tanggal 30 April 2009 pukul 12:48 WIB, PKS berada di posisi keempat mengalahkan PPP, PKB, dan PAN, dengan perolehan suara 6,74 persen. Tetapi, dalam prediksi Abdul Munir Mulkhan, SU, PKS tidak akan naik atau bertahan pada pemilu berikutnya. Partai ini berhasil meraih suara yang signifikan karena bagus organisasinya. Mengapa PKS diprediksikan justru tidak akan naik atau bertahan pada pemilu berikutnya? Fenomena PKS merupakan sebagian kecil dari potret partai-partai politik Islam di Indonesia yang menjadikan agama sebagai komoditas politik. Menurut Said Agil Siradj, dosen Pascasarjana Universitas Indonesia, peluang partai-partai politik Islam dinilai sangat kecil apabila hanya menjual hal-hal yang bersifat surgawi dan ideologis. Dalam orasi budaya “Menjembatani Politik dan Agama” yang digelar sebuah penerbit yang  bekerjasama dengan Impulse, Said Agil Siraj memaparkan, “Saat ini, masyarakat Indonesia lebih membutuhkan peningkatan kesejahteraan ketimbang hal-hal yang berbau religi, seperti yang banyak dilakukan partai yang terlalu konvensional.” Pada kesempatan yang sama, Abdul Munir Mulkhan, SU menyampaikan bahwa saat ini dibutuhkan teologi politik baru. Dalam pengamatannya, selama ini partai-partai Islam di Indonesia selalu gagal meraih suara mayoritas. Teologi politik baru sangat dibutuhkan bagi partai-partai politik Islam. Sebab, politik itu bagaimana memikirkan kepentingan rakyat. Apa yang sedang dibutuhkan oleh rakyat, maka partai-partai politik Islam harus peka menangkap aspirasi ini. Selama ini, partai-partai Islam yang konvensional masih terlalu normatif dalam mewujudkan platform dan kebijakan. Perilaku politisi Muslim juga masih sangat normatif. Perilaku politik para politisi Muslim tidak hanya mengacu pada ajaran-ajaran normatif, tetapi harus peka dalam memahami realitas yang sedang dialami oleh rakyat. Sederhananya, politik Islam harus kontekstual, tidak melulu tekstual. Perilaku politik para politisi Muslim juga harus tanggap dalam menghadapi keluhan dan aspirasi rakyat saat ini. Dihadapkan pada realitas yang dihadapi rakyat Indonesia, partai-partai politik Islam harus mampu menawarkan alternatif solusi untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran yang masih dominan hingga saat ini. Sumber data BPS 2005-2008, jumlah penduduk miskin di Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005, tercatat sekitar 35,10 juta jiwa penduduk miskin. Tahun 2006, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 39,05 juta jiwa. Pada tahun 2007, angka kemiskinan di Indonesia sekitar 37,2 juta jiwa. Pada tahun 2008, angka kemiskinan di Indonesia justru makin melonjak menjadi 41,1 juta jiwa.
Jika hanya menjual hal-hal yang berbau surgawi, bersifat religi atau bernuansa eskatologis, partai-partai politik Islam tidak akan mampu menawarkan solusi kesejahteraan bagi 41,1 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia. Ini berarti partai-partai Islam bakal ditinggalkan oleh konstituen dan rakyat Indonesia yang mayoritas kaum Muslimin akan memilih partai-partai berhaluan nasionalis yang lebih kongkret menawarkan kesejahteraan. •(Bahan dan tulisan: rif)
Categories : MEI 2009 | SM 10-09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar